Kebenaran dibedakan menjadi tiga
jenis, yaitu kebenaran epistemologis, kebenaran ontologis dan kebenaran
semantis. Kebenaran epistemologis adalah kebenaran yang berhubungan dengan
pengetahuan manusia. Kebenaran ontologis adalah kebenaran sebagai sifat dasar
yang melekat pada hakikat segala sesuatu yang ada atau diadakan.
Sedangkan kebenaran semantis adalah kebenaran yang terdapat serta melekat dalam
tutur kata dan bahasa. Adapun teori-teori kebenaran menurut filsafat adalah
sebagai berikut :
A.
Teori Korespondensi
Teori
Korespondensi (The Correspondence Theory of Thruth) adalah teori yang
berpandangan bahwa pernyataan-pernyataan adalah benar jika berkorespondensi
terhadap fakta atau pernyataan yang ada di alam atau objek yang dituju
pernyataan tersebut. Kebenaran atau suatu keadaan
dikatakan benar jika ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu
pendapat dengan fakta. Kebenaran ini
seutuhya berpangkal dari keadaan/kenyataan alam yang ada yang dapat dibuktikan
secara inderawi oleh responden.
Teori kebenaran
korespondensi adalah teori kebenaran yang paling awal, sehingga dapat
digolongkan ke dalam teori kebenaran tradisional karena sejak awal (sebelum
abad Modern) mensyaratkan kebenaran pengetahuan harus sesuai dengan kenyataan
yang diketahuinya. Hal ini dapat diartikan bahwa teori yang diterapkan atau
dikemukakan tidak boleh bersimpangan/bersebrangan dengan kenyataan yang menjadi
objek.
Dalam teori
kebenaran korespondensi tidak berlaku pada objek/bidang non-empiris atau objek yang tidak dapat
diinderai. Kebenaran dalam ilmu adalah kebenaran yang sifatnya objektif, ia harus
didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan dalam pembentukan objektivanya.
Kebenaran yang benar-benar lepas dari kenyataan subjek.
Dalam teori ini terdapat tiga kesukaran
dalam menentukan kebenaran yang disebabkan karena :
a.
Teori korespondensi memberikan
gambaran yang menyesatkan dan yang terlalu sederhana mengenai bagaimana kita
menentukan suatu kebenaran atau kekeliruan dari suatu pernyataan. Bahkan
seseorang dapat menolak pernyataan sebagai sesuatu yang benar didasarkan dari
suatu latar belakang kepercayaannya masing-masing.
b.
Teori korespondensi bekerja dengan
idea, “bahwa dalam mengukur suatu kebenaran kita harus melihat setiap
pernyataan satu-per-satu, apakah pernyataan tersebut berhubungan dengan
realitasnya atau tidak.” Lalu bagaimana jika kita tidak mengetahui realitasnya?
Bagaimanapun hal itu sulit untuk dilakukan.
c.
Kelemahan teori
kebenaran korespondensi ialah munculnya kekhilafan karena kurang cermatnya
penginderaan, atau indera tidak normal lagi sehingga apa yang dijadikan sebagai
sebuah kebenaran tidak sesuai dengan apa yang ada di alam.
Teori ini juga dapat diartikan, bahwa kebenaran itu
adalah kesesuaian dengan fakta, keselarasan dengan realitas, dan keserasian
dengan situasi aktual. Sebagai contoh, jika seorang menyatakan bahwa "Kuala
lumpur adalah Ibu Kota Negara Malaysia", pernyataan itu benar karena
pernyataan tersebut berkoresponden , memang menjadi Ibu Kota Negara Malaysia.
Sekiranya ada orang yang menyatakan bahwa "Ibu Kota Malaysia adalah
Kelantan", maka pernyataan itu tidak benar, karena objeknya tidak
berkoresponden dengan pernyataan tersebut,
Orang Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa, dan sebagian besar mahasiswa
pendidikan fisika kelas B adalah perempuan.
B.
Teori
Kebenaran Koherensi
Berdasarkan teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila
pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan
sebelumnya yang dianggap benar. Artinya
pertimbangan adalah benar jika pertimbangan itu bersifat konsisten dengan
pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya, yaitu yang koheren menurut
logika. Salah satu kesulitan dan sekaligus keberatan atas teori ini adalah
bahwa karena kebenaran suatu pernyataan didasarkan pada kaitan atau
kesesuaiannya dengan pernyataan lain, timbul pertanyaan bagaimana dengan
kebenaran pernyataan tadi? Jawabannya, kebenarannya ditentukan berdasarkan
fakta apakah pernyataan tersebut sesuai dan sejalan dengan pernyataan yang
lain. Hal ini akan berlangsung terus sehingga akan terjadi gerak mundur tanpa
henti (infinite regress) atau akan terjadi gerak putar tanpa
henti.
Karena itu, kendati tidak bisa dibantah bahwa teori
kebenaran sebagai keteguhan ini penting, dalam kenyataan perlu digabungkan
dengan teori kebenaran sebagai kesesuaian dengan realitas. Dalam situasi
tertentu kita tidak selalu perlu mengecek apakah suatu pernyataan adalah benar,
dengan merujuknya pada realitas. Kita cukup mengandaikannya sebagai benar
secara apriori, tetapi, dalam situasi lainnya, kita tetap perlu merujuk pada
realitas untuk bisa menguji kebenaran pernyataan tersebut.
Kelompok idealis, seperti Plato juga filosof-filosof modern
seperti Hegel, Bradley dan Royce memperluas prinsip koherensi sehingga meliputi
dunia; dengan begitu maka tiap-tiap pertimbangan yang benar dan tiap-tiap
sistem kebenaran yang parsial bersifat terus menerus dengan keseluruhan
realitas dan memperolah arti dari keseluruhan tersebut. Meskipun
demikian perlu lebih dinyatakan dengan referensi kepada konsistensi faktual,
yakni persetujuan antara suatu perkembangan dan suatu situasi lingkungan
tertentu.
Rumusan kebenaran adalah turth is
a sistematis coherence dan truth is consistency. Jika A = B dan B =
C maka A = C.
Logika matematik yang deduktif
memakai teori kebenaran koherensi ini. Logika ini menjelaskan bahwa kesimpulan
akan benar, jika premis-premis yang digunakan juga benar. Teori ini digunakan
oleh aliran metafisikus rasional dan idealis. Contoh dari teori ini adalah :
Premis 1 : “Bilangan genap adalah
bilangan yang habis dibagi 2”
Premis 2 : “4 habis dibagi 2”
Kesimpulan : “4 adalah bilangan
genap”
Teori ini sudah ada sejak Pra
Socrates, kemudian dikembangan oleh Benedictus Spinoza dan George Hegel. Suatu
teori dianggapbenar apabila telah dibuktikan (klasifikasi) benar dan tahan uji.
Kalau teori ini bertentangan dengan data terbaru yagn benar atau dengan teori
lama yang benar, maka teori itu akan gugur atau batal dengan sendirinya.
Contohnya,
bila kita beranggapan bahwa semua manusia akan mati adalah pernyataan yang
selama ini memang benar adanya. Jika Ahmad adalah manusia, maka pernyataan
bahwa Ahmad pasti akan mati, merupakan pernyataan yang benar pula. Sebab
pernyataan yang kedua konsisten dengan pernyataan yang pertama.
C.
Teori
Kebenaran Pragmatis
Pragmatisme menguji kebenaran dalam
praktek yang dikenal para pendidik sebagai metode project atau metode
problem solving dalam pengajaran. Mereka akan benar hanya jika mereka berguna
dan mampu memecahkan problem yang ada. Artinya sesuatu itu benar, jika
mengembalikan pribadi manusia di dalam keseimbangan dalam keadaan tanpa
persoalan dan kesulitan. Sebab tujuan utama pragmatisme ialah supaya manusia
selalu ada di dalam keseimbangan, untuk ini manusia harus mampu melakukan
penyesuaian dengan tuntutan-tuntutan lingkungan.
Dalam dunia pendidikan, suatu teori
akan benar jika ia membuat segala sesutu menjadi lebih jelas dan mampu
mengembalikan kontinuitas pengajaran, jika tidak, teori ini salah. Jika teori
itu praktis, mampu memecahkan problem secara tepat barulah teori itu benar.
Yang dapat secara efektif memecahkan masalah itulah teori yang benar
(kebenaran).
Teori pragmatisme (the pragmatic
theory of truth) menganggap suatu pernyataan, teori atau dalil itu memliki
kebenaran bila memiliki kegunaan dan manfaat bagi kehidupan manusia (Musrida,
2010). Salah satu contoh teori ini dalam matematika adalah pada trigonometri
pengukuran sudut berguna untuk menentukan arah, kemiringan bidang atau
mendesain dan membuat suatu bangun ruang. Kaum pragmatis menggunakan kriteria
kebenarannya dengan kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability)
dan akibat yang memuaskan (satisfactor consequence). Oleh karena itu,
tidak ada kebenaran yang mutlak/ tetap, kebenarannya tergantung pada manfaat
dan akibatnya. Akibat/ hasil yang memuaskan bagi kaum pragmatis adalah :
1. Sesuai dengan keinginan dan
tujuan
2. Sesuai dengan teruji dengan suatu
eksperimen
3. Ikut membantu dan mendorong
perjuangan untuk tetap eksis (ada)
Teori ini merupakan sumbangan paling
nyata dari pada filsuf Amerika tokohnya adalah Charles S. Pierce (1914-1939)
dan diikuti oleh Wiliam James dan John Dewey (1852-1859). Wiliam James misalnya
menekankan bahwa suatu ide itu benar terletak pada konsekuensi, pada hasil
tindakan yang dilakukan. Bagi Dewey konsekuensi tidaklah terletak di dalam ide
itu sendiri, malainkan dalam hubungan ide dengan konsekuensinya setelah
dilakukan. Teory Dewey bukanlah mengerti obyek secara langsung (teori
korepondensi) atau cara tak langsung melalui kesan-kesan dari pada realita
(teori konsistensi). Melainkan mengerti segala sesuatu melalui praktek di dalam
problem solving.
White (1978)
dalam bukunya Truth; Problem in Philosophy, menyatakan teori
kebenaran tradisional lainnya adalah teori kebenarn pragmatik. Paham pragmatik
sesungguhnya merupakan pandangan filsafat kontemporer karena paham ini baru
berkembang pada akhir abad XIX dan aw al abad XX oleh tiga filusuf Amerika
yaitu C.S Pierce, Wiliam James, dan john Dewey. Menurut paham ini White lebih
lanjut menyatakan bahwa:
"..... an idea --a term used loosly by these
philosophers to cover any "opinion, belif, statement, or what
not"--is an instrument with a paticuler function. A true ideas is one
which fulfills its function, which works; a false ideas is one does not."
Pragmatik atau
Pragmatisme adalah ajaran mengenai pengertian, a theory of meaning, ajaran
mengenai pengertian, secara pragmatik di definisikan sebagai berikut :
"Jika saya bertindak pada objek A,
Tindakan itu dilaksanakan dengan cara
X,
Maka panca indera saya akan mengalami
Y."
Jika kita
terapkan difenisi diatas, dengan menyebut objek A dalam bentuk istilah atau
nama, katakanlah "pohon". Maka rumus itu akan menjadi :
"Jika saya
menjama batang pohon, maka saya akan merasakan sesuatu yang kasar" atau
"keras".
Andaikata peristiwa terjadi pada musim
panas:
"Jika saya berdiri diatas pohon,
maka saya akan merasakan keteduhan".
Maka
pragmatisme merupakan ajaran tentang pengertian, ialah pengertian suatu istilah
yang terjadi okeh karena sikap dan pengalaman.
Ada 3 patokan yang di setujui aliran
pragmatik yaitu:
1.
Menolak segala intelektualisme
2.
Aktualisme
3.
Meremehkan logika formal
Ø Kriteria Kebenaran Pragmatik
Jadi menurut pandangan teori ini bahwa
suatu proposisi bernilai benar bila proposisi ini mempunyai
konsekuensi-konsekuensi praktis seperti yang terdapat secara inheren dalam pernyataan
itu sendiri. Karena setiap pernyataan selalu selalu terikat pada hal-hal yang
bersifat praktis, maka tiada kebenran yang bersifat mutlak, yang berlaku umum,
yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal, sebab
pengalaman itu berjalan terus dan segala yang dianggap benar dalam
perkembangannya pengalaman itu senatiasa berubah. Hal itu karena dalam
prakteknya apa yang dianggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutmya.
Atau dengan kata lain bahwa suatu pengertian itu tak pernah benar melainkan
hanya dapat menjadi benar kalau saja dapat dimanfaatkan praktis.
Contohnya Ahmad ingin menjadi pengurus di sebuah
organisasi politik, karena bisa untuk menambah harta kekayaan, Ahmad bersifat
pragmatis, arttinya dia mau masuk ke pengurusan organisasi politik karena ada
manfaatnya bagi dirinya yaitu bisa menambah harta kekayaan.